Segelas Teh dan Kehangatan Sore
Segelas Teh dan Kehangatan Sore
Teras
rumah sangat sepi. Tidak terdengar ada cengkrama antara ayah, ibu, dan
anak-anaknya. Kehangatan tidak terasa sore itu. Kebersamaan kian memudar dan
mengikis rasa cinta dan kasih keluarga.
Biasanya ayah selalu mengajak ibu
dan anak-anaknya untuk berkumpul di teras setiap hari. Aku, Nadia, dan Mas
Hasan. Kamilah anak-anak yang merasa beruntung memiliki keluarga yang sangat
harmonis seperti ini.
Aku adalah anak nomor dua, anak
pertengahan dalam keluarga ini. Adikku, Nadia, berusia empat belas tahun. Ia
masih menduduki bangku kelas dua SMP. Kakakku, Mas Hasan, masih kuliah semester
dua di jurusan Hubungan Internasional. Sedangkan aku, seorang siswi kelas tiga
SMA.
Saat hari-hari efektif, biasanya
Nadia yang pulang paling awal. Dia anak yang pendiam, tidak terlalu suka
mengikuti organisasi. Ia tidak terlalu banyak bicara. Namun, ia memiliki
kelebihan di bidang tulis-menulis. Beberapa karyanya seperti puisi dan cerpen
sudah beberapa kali dimuat oleh media. Nadia memang lebih suka mengungkapkan
perasaan lewat tulisannya.
Sore hari adalah quality time bagi keluarga kami. Biasanya
ayah, ibu, dan Nadia duduk di teras rumah sambil menikmati seduhan teh yang
dibuat oleh ibu. Mereka berbincang sambil menunggu kedatanganku. Sebagai anak
kelas tiga SMA, aku sangat sibuk dan sering pulang menjelang malam. Tak jarang
aku melewatkan momen kebersamaan di sore hari bersama keluargaku.
Namun jika tidak ada les di sekolah,
aku memilih langsung pulang. Aku jarang merasakan asyiknya hang out bersama teman di sela-sela kesibukan. Bagiku, di rumah
saja sudah kutemukan kebahagiaan yang tidak bisa kutemukan saat bersama
teman-temanku.
Mas Hasan juga sangat sibuk dengan
kuliahnya. Dia sering pulang selepas Isya’.
Namun, itu tidak menjadikannya jauh dari keluarga dan hanya mengurusi kuliahnya
saja. Saat malam hari, ia sempatkan untuk berbincang dengan ayah dan ibu sambil
memijit kaki atau pundak mereka.
Mas Hasan juga menanyakan tentang
sekolahku dan Nadia. Jika aku dan Nadia merasa susah memahami materi, biasanya
Mas Hasan membantu kesulitan kami. Aku dan Nadia tidak memerlukan bimbingan
belajar seperti halnya teman-teman kami di Sekolah. Cukuplah Mas Hasan sebagai
guru kami, tidak hanya guru dalam pemahaman materi tetapi juga guru yang mengajarkan
banyak hal tentang kebaikan. Itulah kakak kami.
Mas Hasan termasuk pelajar yang
pandai. Dia mendapatkan beasiswa prestasi sejak menduduki bangku SMP. Dia
selalu menduduki peringkat tiga besar baik di kleas maupun paralel. Bahkan di
SMA-nya pun dia masih bisa mempertahankan meskipun saingannya juga lebih berat.
Ia juga masuk perguruan tinggi
sesuai dengan jurusan yang dia impikan. Yang lebih membanggakan ia diterima di
PTN favorit tanpa tes. Ditambah akhir-akhir ini, Mas Hasan mendapatkan beasiswa
prestasi lagi. Mas Hasan memang benar-benar kebanggaan keluarga!
Ayah
sering menasihati banyak hal kepada Mas Hasan. Sebagai anak laki-laki pertama
dan satu-satunya di keluarga ini. Ia mengemban misi yang diberikan oleh ayah.
Mas Hasan harus bisa menjaga adik-adiknya, memberi contoh yang baik, mengajari
adiknya tentang kebaikan, dan memperhatikan pergaulan adik-adiknya.
Ayah
dan ibu sudah menginjak usia kepala lima. Ayah dan ibu semakin mengajarkan
banyak hal kepada anak-anaknya. Terutama pada anak sulung laki-lakinya, yaitu
Mas Hasan. Sejauh ini Mas Hasan sudah cukup membanggakan keluarga.
Sudah saatnya Hasan belajar
menjadi pemimpin keluarga kalau ayah dipanggil lebih dulu. Begitu kata Ayah suatu
hari.
Aku memang masih dianggap anak kecil tetapi
apa maksud ayah berkata demikian sudah bisa aku pahami. Terkadang rasa takut
itu menyelemutiku. Aku tidak pernah siap untuk kehilangan. Dan aku tidak akan
pernah siap.
***
Dingin
menyambut pagi ini dengan embun yang turun membasahi bumi. Ibu sudah menyiapkan
sarapan untuk anak-anaknya. Aku melihat ibu yang sedang kerepotan di dapur. Kuhentikan
aktivitas belajarku, hari ini diadakan try
out terakhir untuk mengetahui kemampuan kelas 12 dalam menghadapi Ujian
Nasional.
“Anya
bantu ya, Bu?” kataku.
“Sudah
belajar aja. Udah mau selesai kok.”
“Nggak
apa-apa, Bu. Anya udah belajar, kok, Bu. Anya yang buatin tehnya ya.”
Aku
mengambil lima gelas kosong untuk diisi gula dan teh celup. Saat akan
memasukkan gula dan teh celup di gelas terakhir, ibu menahan lenganku.
“Empat
gelas saja, Nya.”
“Biasanya ibu bikin lima gelas teh hangat, kan
setiap pagi? Kenapa ini cuma—“ kataku terputus menyadari suatu hal yang
menyakitkan.
Kata-kata
ibu ternyata bermaksud lain. Maksud yang sangat dalam. Otakku seolah dipaksa
untuk menyadari apa yang dimaksud ibu barusan. Ibu secara tidak langsung
mengatakan bahwa anggota keluarga kami telah berkurang satu.
Ayah.
Air
mataku jatuh begitu saja saat aku mengingat sosoknya. Belum genap tiga hari setelah
kepergiannya dari dunia. Kenapa semua ini begitu berat? Jika aku boleh
mencegahnya untuk pergi. Aku akan menahan lengannya sekuat tenaga yang aku
punya. Tapi aku atau siapapun tak akan pernah bisa.
“Ayah..”
lirih Ibu yang ikut menangis.
“Ayah
nggak pergi, Bu. Ayah ada di hati kita semua,” kata Mas Hasan tiba-tiba. Di
belakangku dan ibu, dia sedang merangkul pundak Nadia yang hidungnya mulai
memerah, pertanda ia juga masih merasakan kesedihan yang sama.
Mas
Hasan. Hanya dia yang tidak menangis. Aku tahu dia hanya terlihat tegar di
luarnya saja. Kesedihannya pasti sama denganku, Nadia, dan Ibu.
“Sudah
ayo sarapan dulu,” kata Mas Hasan.
Mas Hasan membawakan teh yang sudah kubuat dan
meletakkannya di tikar tengah rumah kami. Di atas tikar inilah, banyak
canda-tawa, cerita, dan kenangan bersama Ayah.
Suara
ayah seolah masih menggema-gema di telingaku. Tawa Ayah yang sangat renyah begitu
aku rindukan saat ini. Bolehkan aku mendengarkannya sekali lagi saja?
***
3
hari sebelumnya..
Sebelum
matahari terbangun, ayah dan ibu sudah bangun terlebih dahulu. Ayah dan ibu
berangkat bekerja pada pukul dua dini hari. Pada jam segitu sayur-sayuran yang
didistribusi dari dataran tinggi sudah berdatangan ke pasar. Ayah dan ibu harus
datang awal jika tidak ingin kehabisan sayur-sayur segar itu. Kalau terlambat
bangun pasti sudah keduluan penjual sayur lainnya.
Saat
ibu dan ayah berangkat ke pasar, biasanya Mas Hasan masih terjaga, ia belum
tidur. Ia sering tidur lewat jam dua belas malam untuk mengerjakan tugas
kuliahnya. Kalaupun tidak sedang begadang mengerjakan tugas kuliah, Mas Hasan
sudah terbiasa bangun jam dua dini hari untuk mendirikan salat tahajud.
Jadi,
Mas Hasan selalu membantu ayah dan ibu sebelum berangkat ke pasar, Mas Hasan
membantu menyiapkan segala hal yang diperlukan ayah dan ibu sebelum berangkat.
Aku
dan Nadia biasanya masih tidur saat ayah dan ibu berangkat ke pasar untuk
berjualan. Jadi, jika tidak sedang hari libur, aku dan Nadia bertemu ayah dan
ibu setelah pulang sekolah.
Hari
itu, aku bangun pukul setengah dua pagi. Aku merasa senang tidak melewatkan
kesempatan membantu ayah dan ibu, seperti yang biasa Mas Hasan lakukan.
Sebelum
berangkat ke pasar, kulihat ayah yang kurasa sedang tidak baik-baik saja. Ayah
duduk di kursi ruang tamu sambil memegangi dadanya. Ayah seperti sedang
merintih kesakitan. Aku merasa panik.
“Ayah
kenapa, Yah?!” aku mendekati ayah dan duduk di samping beliau. Mas Hasan dan
Ibu yang sedang mendengar suara panikku ikut menoleh.
“Ada
apa? Ayah kenapa, Yah??” Ibu juga ikut panik.
“Dada
Ayah nyeri,” rintih Ayah terbata-bata.
“Ayah
jangan ke pasar dulu hari ini, Hasan antar Ayah ke dokter dulu ya pagi ini.”
“Ayah
nggakpapa, San. Pasti bentar lagi nyerinya hilang,” aku melihat ayah mencoba
tersenyum. Aku tahu lengkung sabit itu sedang menahan rasa sakit. Aku yakin
sakit jantung Ayah sedang kambuh.
“Nah,
iya kan, nyerinya udah hilang,” ujar Ayah. “Ayo, Bu, kita ke pasar sekarang,
ajak Ayah.
“Jangan
dipakasakan, Yah. Ayah hari ini istirahat dulu aja di rumah,” ujar ibu sambil
mengelus pundak ayah.
“Ayah
kalo nggak kerja malah badannya sakit semua. Insya Allah nggakpapa, kok. Hasan, Anya.. Ayah sama Ibu berangkat
dulu, ya.”
Aku
dan Mas Hasan tidak lagi bisa mencegah Ayah. “Ya sudah. Hati-hati, ya, Yah,”
ujar Mas Hasan.
“Ayah
nanti kalo capek, istirahat dulu. Jangan dipaksain, ya, Yah,” ujarku.
“Iya.
Nadia masih tidur, ya? Nanti jangan lupa pastiin dia sarapan sebelum berangkat.
Nadia punya maag, kalian kakak-kakaknya harus pinter jagain dia. Kalian jangan
lupa sarapan juga, ya,” Ayah mengelus kepalaku dan Mas Hasan bergantian.
“Ibu
udah siapin nasi sama ikan asin di atas meja. Nanti tehnya bikin sendiri, ya.
Bisa, kan?”
“Iya,
Bu. Nanti Anya buatin tehnya. Ibu sama ayah ati-ati, ya,” aku mencium tangan
ibu dan ayah bergantian. Mas Hasan melakukan hal yang sama.
“Iya.
Assalamu’alaikum,” ujar Ibu. Ayah sudah menyalakan mesin motor tuanya. Ibu
segera naik. Motor ayah melesat meninggalkan halaman rumah membelah jalanan
yang masih sepi.
***
Matahari
tepat di atas ubun-ubun manusia. Aku sedang membawa buku-buku persiapan Ujian
Nasional dari perpus. Tiba-tiba temanku yang bernama Siti memanggilku dari arah
yang berlawanan denganku.
“Anyaa,
ka-kamu harus ke pos satpam sekarang! Kakak kamu mau jemput kamu.”
“Ada
apa emangnya, Sit?”
“Ayah
kamu—“
“Ayah
aku kenapa?!” aku langsung merasa cemas. Melihat ekspresi Siti yang panik dan ketakutan
seperti ini membuat perasaanku tidak enak.
“Ayah
kamu mening—“
“Enggaaak,” potongku cepat. Aku tidak
siap mendengarkan info dari Siti. Buku yang ada di tanganku jatuh saat aku
berlari ke pos satpam. Aku mencari Mas Hasan. Aku ingin mendengar penjelasan darinya.
“Ayo kita pulang, Nya,” ujar Mas
Hasan menarik lenganku. Dia seperti sedang menutupi wajah sembapnya.
“Kenapa, Mas? Jelasin sama Anya, ada
apa??” ujarku saat duduk di boncengan motor Mas Hasan.
Mas Hasan hanya terdiam selama
perjalanan. Ia tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Tapi ketika sudah
sampai di rumah, aku mendapati rumahku sudah bagaikan rumah duka.
Saat itulah aku sadar, bahwa Ayah
sudah pergi.
***
Aku
senang melihat senyumnya dibalik keindahan pagi
Lengkung sabit di
wajahnya adalah hal pertama yang ingin kujumpa saat memulai hari
Namun senyum itu
perlahan tak terlihat. Menghilang. Begitu saja.
Hanya memori yang
menangkap indahnya senyum dan tuturmu, Ayah.
Ayah.
Bolehkah Anya bersua
dengan Ayah lagi?
Meski di dalam mimpi.
Dekaplah Anya, Ayah. Karena Anya selalu rindu Ayah.
Aku
menuliskan sajak-sajak kerinduan buat Ayah di secarik kertas putih. Aku
menempelkan kertas itu di sterofoam merah
muda yang menempel di dinding kamar.
“Anya,”
suara kakak laki-lakiku yang bersamaan dengan terdengarnya suara pintu kamarku
yang berderit ketika dibuka.
“Eh,
Mas Hasan.”
“Lagi
ngapain?”
“Lagi
rindu Ayah.”
Mas
Hasan menghela nafas. “Rindu buat Ayah selalu ada di hati orang-orang yang
menyayangi beliau, Nya. Tapi jangan sampai kesedihan ini bikin kita jadi sosok
yang rapuh. Kita harus kuat, kita harus tegar.
“Roda
kehidupan itu berputar. Kadang kita susah kadang kita seneng. Kadang kita sedih
kadang kita bahagia. Semua udah ada porsinya masing-masing. Yang terpenting
tetap bertahan menghadapi cobaan, jangan lupa bersyukur di setiap keadaan.
“Kadang
melalui peristiwa di kehidupan ini, Tuhan memberikan kita banyak pelajaran.
Kita dipersiapkan buat jadi orang yang lebih baik lagi. Seperti indahnya
mutiara. Sakit pada prosesnya, indah pada akhirnya,” tutur Mas Hasan.
“Anya
berusaha buat bangkit, kok, Mas. Anya bahagia ada Mas Hasan, Nadia, dan Ibu
yang berusaha bikin Anya kuat.”
“Udah
jam empat sore,” ujar Mas Hasan tiba-tiba.
“Emang
kenapa, Mas?”
“Segelas
teh dan kehangatan sore bareng keluarga udah nunggu kamu di teras.”
Aku
tersenyum. Air mataku menetes satu. Sedih dan bahagia, bergabung menjadi satu
rasa dalam hangatnya kasih keluarga.
Aku
mengikuti langkah Mas Hasan keluar rumah. Aku, Mas Hasan, Nadia, dan Ibu
bercengkerama di teras rumah. Canda, tawa, dan cerita terlihat indah menghiasi
cakrawala. Sesekali aku menyesap teh yang telah disiapkan untuk menemani
obrolan kebersamaan ini.
Kehangatan
sore itu kembali aku rasakan. Dalam pikiranku, terbayang wajah ayah yang
tersenyum. Senyum ayah begitu indah. Seindah cakrawala sore hari ini. Kami
bercengkerama hingga matahari berada di ujung senja dan langit perlahan mulai
berwarna jingga.
Komentar
Posting Komentar